Mendapatkan Tawaran Menjadi Asdos
"Inilah sebuah pengalaman....
pengalaman yang aku sendiri belum pernah membayangkan sebelumnya....
seperti apa dan bagaimana kedepannya..."
tapi, itu semua aku katakan dulu, ketika aku hendak memulai pengalaman ini....
sekarang?
aku akan berbagi dengan teman-teman semua tentang pengalaman ini...
Who am I?
pengalaman yang aku sendiri belum pernah membayangkan sebelumnya....
seperti apa dan bagaimana kedepannya..."
tapi, itu semua aku katakan dulu, ketika aku hendak memulai pengalaman ini....
sekarang?
aku akan berbagi dengan teman-teman semua tentang pengalaman ini...
Pengalaman ditawari untu menjadi seorang asisten dosen. Memang bukah hal
yang terlalu spesial, biasa
saja, lebih tepatnya begitu. Tapi, tahukah...
pengalaman ini justru memberikan motivasi yang luar biasa dan mulai merubah
kehidupanku...
Ketika itu tiga hari setelah perayaan wisuda, aku mendapatkan sebuah pesan
singkat. Seorang dosen bernama ibu Siti Muslikhati, S.Ip., M.Si., menawariku
untuk membantunya menghandle kelas. Aku sungguh sangat terkejut, tidak pernah
terfikir olehku sebelumnya. Saat itu aku sedang bersiap untuk pergi wawancara
di sebuah Bank. Siapa yang bakalan menyangka, seorang dosen menawariku untuk
menjadi asistennya? Apakah ini nyata? Apakah ibu Siti hanya salah mengirim
pesan? Atau.... Tawaran yang sebenarnya belum bisa diterima secara logika.
Who am I?
Aku adalah mahasiswa biasa, kelas rata-rata. IPKku pun juga tidak begitu
sempurna dibandingkan dengan teman-teman yang bisa memperoleh IPK di atas 3.9.
Pernah aku mendapatkan nilai C, sampai aku harus mengkonfirmasi dosen yang
bersangkutan. Berhari-hari aku menunggu dosen tersebut untuk bertemu di kampus,
tapi sayang, Beliau tidak pernah datang ke kampus sehingga aku harus pergi ke
rumahnya. Bukanlah hal mudah menemukan rumahnya, sasampainya aku dan temanku di
rumahnya, kami tidak langsung bertemu dengan beliau, kami harus menunggu beliau
berjam-jam. Apakah pada hari itu aku dan temanku langsung bisa merubah nilai
menjadi lebih baik? Tidak, diskusi panjang ternyata tidak sesuai dengan apa
yang kami harapkan. Kami harus tetap ikut SP (semester pendek) guna perbaikan. Baiklah,
tidak apa-apa, pengalaman SP mungkin membuatku menjadi lebih banyak belajar.
Ketika itu IPku terpuruk. Menyakitkan. Hal itu membuatku stres, benar-benar membuatku
marah. Makan menjadi tidak enak, tidur menjadi tidak nyaman, dan aku ingin
memutuskan untuk keluar dari organisasi yang ketika itu aku ikuti. Sebuah
kata-kata bijak yang diutarakan oleh sahabatku ketika itu, Sekar. “Kamukan sudah
berniat untuk berkontribusi di organisasi ini, bukan keputusan yang tepat jika
gara-gara IP, kamu kemudian memutuskan untuk keluar. Perbaiki niatmu, mungkin
lain kali kamu harus lebih giat lagi belajar, menejemen waktunya ditata
kembali.” Begitulah kata-kata yang kuingat darinya.
Aku mulai berfikir keras. Aku sadar kesalahan bukan pada organisasi, bukan pada dosen, bukan pada teman atau lingkungan. Tapi kesalahan itu ada padaku. Padaku. Ya. Padaku. Aku harus menata ulang kehidupanku, rencana-rencanaku, dan target-targetanku ke depan. Aku harus menjadi mahasisawa yang penuh semangat, penuh motivasi, dan penuh energi. Kutata jadwal
kuliah, jadwal organisasi, dan jadwal asramaku. Inilah ikhtiar yang perlu dilakukan.
Aku memang pernah berkeinginan untuk menjadi asisten dosen. Jauh sebelum aku
merasakan duduk di bangku kuliah. Keinginan itu pupus setelah aku tahu di
jurusanku tidak banyak dosen yang memiliki asisten, dan yang memiliki asistenpun,
asistennya minimal sudah bergelar S1. Memang
ada keinginan untuk menjadi asisten dosen Bu Siti, sehingga aku sering
membanyol “Gw asdosnya Bu Siti”. Wkwkwwk, PD banget loe, bu Siti aja g pernah
punya asdos, begitulah respon teman-teman yang sering mendengar banyolanku.
Agak aneh memang, mengingat sebenarnya begitu banyak perbedaan antara aku
dan beliau. Keinginan itu lama-lama tereduksi, setelah aku sadar banyak sekali
perbedaan diantara kami. Tapi tetap saja, aku selalu bersemangat datang ke
kuliah beliau. Sebelum masuk kelas minimal aku sudah membaca buku yang menjadi
rujukan beliau. Itu menjadi bahan ampuh untuk aktif bertanya dan berusaha
mengelurkan argumen-argumen seperti yang beliau maksudkan. Hawa kantuk yang
biasa merebak di kelas, sekuat mungkin aku lawan, menggunakan jurus seribu
taktik, dari mulai mencubit pipi, mengolesi mata dengan minyak kayu putih, makan
permen, atau jurus terakhir, izin ke belakang dan cuci muka. Tugas-tugas sebisa
mungkin aku kerjakan, walau sering terjadi simpang siur perintah dari tugas
tersebut, sebisa mungkin aku bertanya validitasnya, kalau nihil, kutanyakan
langsung pada dosen dan memberitahukannya pada teman-teman. Ujian Tengah dan
Ujian Akhir Semester menjadi nilai-nilai yang sangat menentukan. Terkadang aku
juga heran, berbulan-bulan kami kulaih, hampir dari 60% nilai diambil dari
nilai tersebut yang hanya beberapa jam saja kami kerjakan. Kalau pada saat itu
kondisi kita sedang tidak fit, sedang banyak masalah, fikiran tidak fokus, bisa
kacau ujian itu. Di sinilah kita diminta untuk banyak-banyak berdo’a.
(Kita kembali lagi) apakah itu yang menjadi pertimbangan? Entahlah...
Yang paling penting adalah kita berusaha dengan maksimal dan biarlah Allah
yang memberi keputusan.
Begitulah pengalamanku ketika diminta untuk menjadi asisten dosen. Banyak
hal yang dapat kita jadian pelajaran, makna dari “Kata-kata adalah do’a” begitu
besar. Aku tidak pernah secara khusus berdoa agar bisa menjadi asisten dosen,
karena kata-kata yang sering aku ucapkan itulah yang akhirnya menjadi
kenyataan. Sehingga, berkatalah yang baik-baik, mungkin Allah akan
mengabulkannya suatu saat nanti.
“Setiap orang pasti pernah mendapat pengalaman terpuruk” yang harus
dilakukan janganlah berlarut-larut dalam keterpurukkan, berusahalah bangkit dan
cari motivasi. Terkadang apa yang kita dapatkan sekarang menjadi sesuatu yang
tidak logis, tetapi ingatlah ada kekuasaan Allah dibalik itu semua. Bisa jadi
apa yang kita dapatkan sekarang adalah balasan atas kasih sayang-Nya, sehingga bersyukurlah
apa pun yang kita dapatkan sekarang, janganlah mudah putus asa. Terakhir, mengingatkan
kepada kita semua tentang makna hidup yang sesungguhnya, hidup di dunia
hanyalah sementara, yang dicari adalah ridho dan kasih sayang-Nya yang menjadi
kunci rumah kita yang sesungguhnya.... :)
Komentar
Posting Komentar