Hari Raya Pertama di Jogja


Hari itu bertepatan dengan tanggal 15 November 2010 pukul 18:45, tanpa pikir panjang aku terus berlari menuruni tangga asramaku yang cukup tinggi itu, mengejar waktu, mengejar tanggung jawab, dan mengejar ketidak enakan. Huft, ya... sungguh, di bawah sana ada seseorang yang sudah terlalu lama menungguku. Betapapun ada perasaan tidak enak pada diriku. Menyuruhnya datang menjemput, aku terlambat pula. Hm. Sehingga, dengan sekuat tenaga, dengan ransel dan tas-tas yg bergelantungan di tubuhku, aku tidak boleh menyerah! Berlari menuruni tangga walau sejatinya kakiku pun sedari tadi belum diistirahatkan. Yah,  alhamdulillah ini bukan ajang naik tangga...
.....

Sambutan hangat diberikan kepadaku yang saat itu basah terkena air hujan yang tadi mengguyur tubuhku di atas kendaraan roda dua, yang melaju bersama sosok yang telah membuatku merasa tidak enak. Setelah sambutan hangat diberikan, tentunya penyediaan hidangan pun tak luput diberikan oleh sosok wanita tua yang masih tampak sehat yang kerap ku panggil mbah itu. Hm, allhamdulillah sebelumnya baru saja aku berbuka puasa dengan mie ayam lengkap dengan es campurnya, sehingga aku masih merasa kenyang.
Beberapa menit setelah itu, tanpa dikomando, aku masuk kamar dan tidur. Sekitar jam 11 lebih aku terbangun. Astagfirullah, aku belum shalat isya. Aku kemudian melaksanakan shalat wajib penutup shalat-shalat wajib yang lain, dilanjutkan dengan shalat malam plus shalat penutup di akhir ritual shalat. Fiuuu... akhirnya akupun melanjutkan jalan-jalanku yg sempat tertunda tadi. Berjalan di alam mimpi, melihat sejuta pesona yang hampa namun terkadang bermakna.
......

Pagi menyapa lagi, aku terbangun setelah beberapa detik adzan subuh selesai berkumandang. Bergegas aku bangun dan melaksanakan shalat subuh. Menemani mbah di dapur, beberapa detik setelah aku menunaikan kewajibanku sebagai umat muslim itu. Jam menunjukan pukul 05:45, aku telah bersiap untuk mandi. Tiba-tiba hpku bergetar, kuangkat telepon itu, terdengar suara merdu di seberang sana, menanyakan kabarku, menanyakan segalanya tentangku. Seseorang yang sangat  berarti bagiku. Mengajarkanku tentang banyak hal, menolongku walaupun sampai saat ini pengorbanannya pun belum bisa aku balaskan. Dia adalah sosok terhebat yang kumiliki. Ibu, sosok wanita yang aku kagumi, yang menyayangiku hingga saat ini.
Aku jawab semua pertnyaan-pertanyaannya dengan kelembutan yang sama, selembut tanyanya padaku.

......
Sungguh tak terasa jam telah menunjukakkan pukul 06:00, mbah mengetuk pintu kamarku dan memanggilku. Aku keluar dari kemar lengkap dengan peralatan mandi dan pakaian ganti. Mbah tampak terkejut melihatku belum mandi, padahal shalat ied sebentar lagi akan segera dilaksanakan. Aku meminta maaf pada mbah, kemudian ngebut menuju kamar mandi. Baru beberapa detik di kamar mandi, buleku memberikan komando bahwasannya mereka akan segera pergi. Tanpa pikir panjang secepat kilat aku mandi. Mungkin ketika itu mandiku tidak terlalu bersih, tapi memang inilah kesalahanku, aku tidak menyalahkan sosok yang tadi menelponku sehingga aku harus terlambat mandi. Tidak sama sekali. Justru aku bangga memilikinya.

......
Hujan mengguyur desa waktu itu. Shalat ied dalam keadaan penuh rizqi. Allhamdulillah. Sapi dan kambing, dua binatang yang akan dipotong pada hari itu, kenikmatan bertambah ketika satu persatu warga diberikan jatah daging kambing dan sapi. Dimasak tongseng dan santan ala masakan resto, subhanallah, nikmat. Kebahagiaan bertambah ketika makanan nikmat itu kami santap bersama-sama.

......
Malam itu, adalah malam idul adha yang ditetapkan pemerintah. Ya, kami memang lebih dulu melaksanakan shalat ied, mendahului keputusan pemerintah. Hm, bukankah perbedaan itu wajar adanya. Tidak menjadikan perbedaan sebagai bahan perdebatan, mungkin itu lebih baik.
Malam itu ada pawai takbir, dari anak-anak sampai dewasa terlibat dalam pawai itu. Selain bedug tak jarang dari mereka yang menggunakan drumband untuk mengiringi takbiran pada saat itu. Semua dari mereka menampilakan kreasi yang telah mereka persiapkan jauh-jauh hari sebelum ini. Patung-patung raksasa dengan berbagai bentuk dan kreasi tampak mengokohkan kebanggaan mereka. Pawai berhenti seiring makin larutnya malam ketika itu.

.......
Saatnya kembali ke asrama. Sore itu aku berpamitan, tepat pukul 17:15 aku berangkat bersama kendaraan roda dua plus supirnya.
Semua kegiatan itu ditutup dengan aroma wangian yang mirip sekali dengan aroma wangian yang dimiliki oleh bapakku, sosok kebanggaanku. Teringat betapapun bapakku adalah yang terbaik, cerita kakek tentang bapakku sampai membuat dirinya menangis.Oh, aku teringat bapakku karena wewangian itu. Wewangian yang dipakai oleh sosok yang telah banyak membantuku, yang akupun pernah dibuatnya merasa tidak enak karena sudah terlalu banyak aku merepotkannya. Ya, dia adalah adik kandung bapakku, yang sejatinya aku  harus memanggilnya 'om'. Tapi aku pasti akan merasa canggung, karena memang umurku lebih tua darinya.

Perjalanan pulang dihiasi dengan ingatanku akan dua orang diseberang sana, yang telah menjadi perantara kenikmatan yang telah Allah berikan untukku. Terimakasih ya Rabb, terimakasih Umi, Bapak. Semoga Allah berikan kasih sayangnya bagi kita semua. Amin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi untuk Anak Jalanan