Ternyata, Hati Ini Rindu PadaMu


Adakah teguran yang lebih lembut selain teguranNya. Begitu lembut kala Ia menegur hambaNya tanpa kata-kata. Teguran selembut buih, sebening embun pagi, yang mampu membuka hati dengan cinta yang hakiki. Subhanallah, Ya Rabb, menangisku di atas sujudku. Betapa malunya diriku padaMu, yang telah berlaku tanpa ingat akan namaMu, kebesaranMu dan kuasaMu. Menangisku teringat dosa-dosa dan kesalahanku. Sajadah putih tempat aku bersujud menjadi saksi permohonan ampunanMu. Sajadah putih kini basah akan air mata penyesalan, penyesalan akan niat yang menumbuhkan noda di relung hatiku.

Niat yang tulus selepas SMA, memperjuangkan jalan dakwah dengan tetap istiqamah mengemban amanah, amanah dakwah. Segala persiapan dilakukan, mulai dari rutin mengkuti kajian, rutin meminta nasihat-nasihat, rutin mencari informasi dakwah di kampus-kampus tujuan, rutin meminta bantuan, rutin membaca buku keislaman, rutin mencari teman yang akan diajak bersama melanjutkan dakwah di kampus tujuan, rutin, rutin dan rutin, semuanya rutin dilakukan, hanya demi dua buah kata “Menjaga Keistiqamahan”.
Ketakutan yang besar seandainya keluar dari lingkaran jamaah dakwah. Untuk itu persiapan demi persiapan haruslah dilakukan sebagai perisai pertahanan. Mendirikan benteng pertahanan terlebih dahulu akan lebih mudah dibandingkan mendirikan tiang-tiang yang telah hancur diterjang badai keistiqamahan.
Mantap dan siap, itulah dua kata yang sejatinya menjadi bekal perjalanan dakwah. Istiqamah! Kata ketiga penyempurna dua kata pertama. Kata ketiga ini cukuplah sepesial karena tidak hanya keluar dari petuah para mujahid tanpa tanda jasa, namun kata ini juga keluar dari seluruh anggota jamaah dakwah, baik alumni maupun non alumni termasuk adik-adik kelas tercinta.
Merantau ke sebuah tempat yang sama sekali belum pernah terbayangkan di fikiran ini. Tempat yang jauh, jauh dari koneksi orang-orang tercinta, jauh dari katulistiwa kebudayaan semula, jauh dari orbit kehidupan sebelumnya, jauh, jauh di seberang pulau di sana. Tidak apa-apa. Tetaplah semangat! Bismillah!
Empat roda berputar mengantarkanku ke tempat tujuan. Sudah terbayang indahnya kampus impian, merencanakan kegiatan yang akan dilakukan, ya termasuk menyusun kegiatan dakwah yang akan didahului dengan silaturahmi. Berazzam untuk mengikuti kajian rutin, mencari link dakwah ke seluruh penjuru kampus, terlibat dalam setiap kegiatan dakwah, mencari teman satu pemikiran, menyibukkan diri untuk melakukan amalan yang terbaik, dan tidak lupa meluangkan waktu untuk bermuhasabah. Sip! Semangat!
Langkah kaki pertama menginjak halaman kampus. Akhirnya, bangga jadi mahasiswa, good bye putih abu-abu. Baju panjang plus rok dengan kerudung terjulur hingga nyaris seperti mukena membersamaiku waktu itu. Langkah kaki mantap tanpa ada ragu sedikitpun. Berjalan menyusuri trotoar kampus, mencari tempat yang hendak dituju.
Suasana kampus begitu indah. Terbayang akan tuntutan dakwah yang pasti kian menyenangkan. Terancang ribuan aktivitas yang akan dilaksanakan. Semuanya, telah terbayang.
Dugb, terbelalak mataku seketika. Langkah kakiku terhenti, penyusuran  mataku pun terhenti, menuju sebuah sosok di depan sana yang tidak jauh berdiri di depanku. Astagfirullah, betapa syok dan terkejutnya aku ketika itu. Hei, busana model apa ini? Kenapa aku baru menemuinya? Belum pernah kulihat sebelumnya, orang memakai busana seperti dia, apa-apaan ini? Apa yang ada di fikirannya sehingga dia harus mengenakan celana ketat lagi tipis yang lingkaran bawahnya pun tak sampai menutup mata kaki, dengan baju dimasukkan sampai terlihat lekuk tubuhnya, lengan bajunya hanya terhenti sampai sebatas sikunya, ditambah kerudung modis yang betapapun itu sangat tipis, yang membuatku miris adalah rambut yang tergurai rapi di depan dahinya. Astagfirullah, ada apa ini? Kenapa ada orang semacam ini masuk ke kampusku. Oh, aku tak tahan melihatnya.
Penelusuranku lebih lanjut. Orang yang kutemui saat itu adalah orang-orang aneh lagi “gila”, yang tertawa sangat keras saat penyambutan mahasiswa baru di kampusku. Mereka bercampur baur tak peduli lagi laki-laki atau kah perempuan. Mereka bersorak-sorak kegirangan padahal tidak ada yang membanggakan. Mereka saling mengejek dan menertawakan, padahal mereka sama saja. Huft, ingin menangis rasanya diriku, melihat gambaran kampusku yang tak sesuai dengan bayanganku. Melihat keadaan seperti ini, lunturlah semangatku. Ya sudahlah, apa hendak dikata, inilah kenyataannya.
Masuk kelas baru bersama teman-teman baru. Sepertinya akulah pembeda diantara mereka. Jilbabku yang besar, membuat mereka enggan berkomunikasi denganku. Sikapku yang pendiam membuat mereka tidak memperdulikanku, aku yang tak pandai bicara selalu tidak memiliki kesempatan dan ditindas dengan kata-kata mereka yang luar biasa. Barulah aku tahu karakter-karakter teman-temanku tak sesuai dengan bayanganku. Fiu… Aku, sangat sedih dan kecewa.
Fikiranku kacau tak terkendalikan, setiap malam aku menangis, fikiran-fikiran beradu memenuhi isi kepalaku. Sampai pada suatu saat fikiranku mencapai titik klimaks. Ya, aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Kumulai adaptasiku. Kerudung aku naikkan beberapa centi dari sebelumnya. Kata-kata mulai ditata agar mendapat tempat tersendiri di hati mereka, ya tentunya bukan kata-kata yang puitis dan bagus, lebih blak-blakkan dan terkadang kontroversial. Sikap pendiam lama-lama aku hilangkan. Berharap aku dapat diterima di komunitas mereka. Perlahan aku realisasikan niat itu, dan hasilnya aku dapat diterima dikomunitas mereka.
Aku lebih sering menghabiskan uang untuk makan di luar. Padahal aku sudah memiliki alat masak yang seharusnya aku gunakan, agar tidak terlalu banyak menghabiskan uang. Aku sering jalan-jalan yang sejatinya tak memberikan manfaat sedikitpun. Aku jadi jarang tilawah Al-Quran, jarang shalat malam, jarang berdzikir kala pagi, jarang hafalan surah, dan sebagainya. Semuanya jarang, jarang aku lakukan.
Aku merasa menikmati kebersamaan dengan mereka. Aku anggap mereka saudara baruku di tanah rantauan. Senasib yang apapun dapat dilakukan bersama. Ya, aku merasa hari-hariku lebih bermakna.
Niatku mulai menggila, saat aku tahu ada seseorang sedang mencoba memetik hatiku. Niatku untuk selalu berpenampilan cantik, niat untuk selalu menunjukkan jati diri, niat untuk ingin selalu dikagumi, niat untuk menunjukkan yang terbaik, dan semua niat-niat gila yang ada di kepalaku, semuanya membuatku berlaku yang tak sesuai dengan diriku yang dulu.
Semuanya berjalan seolah baik-baik saja. Tidak ada yang salah. Berlalu tanpa perasaan bersalah sedikitpun. Berjalan tanpa ada kejangggalan. Sampai pada akhirnya aku menemukan kejenuhan, yang pada akhirnya kejenuhan  itu mengantarkanku pada saat dimana aku merasakan sesuatu, tetapi perasaan apa ini, aku sendiripun tak tahu.
Suatu hari seorang sahabat menunjukkan kepadaku sebuah buku yang baru dibelinya. Seperti biasa, setiap ada buku baru yang ditunjukkan, aku langsung latah  berkeinginan untuk melihatnya. Sebuah buku berwarna pink. Hm, cantik juga, fikirku ketika itu. Kulihat judulnya, “Agar Bidadari Cemburu Padamu”. Wah, buku apa ini? Hehe. PD sekali orang yang membuat judul buku ini. Kulihat lebih jauh, Salim A. Fillah, sang penulis sekaligus peletak kata itu sehingga bisa terpampang begitu jelas menjadi judul sebuah buku. Akhir-akhir ini aku jadi malas membaca buku. Ya, aku kembalikan lagi buku itu kepada pemiliknya. Temanku berbicara panjang lebar mengenai buku itu, ia katakan semuanya tentang buku itu, seolah ia sudah pernah membaca sebelumnya, padahal buku itu pun baru dibelinya. Tetapi aku tidak tertarik. Kemalasan itu telah melekat sedemikian lengket di diriku, apapun yang ia katakan aku tidak peduli, toh aku memang sedang malas membaca buku.
Malam itu temanku pulang terburu-buru, buku yang asyik ia baca seharian di kamarku, tertinggal begitu saja. Aku yang mencoba mengejar tak kuasa menahannya. Ia berlalu begitu cepat.
Aku jadi penasaran mengenai buku ini. Sedari tadi temanku asyik membacanya sampai terkadang tertawa sendiri, senyum-senyum sendiri, malah kadang-kadang menunjukkan ekspresi terkejut, yang pasti juga sendiri.
Aku buka bab pertama buku itu. Kutelusuri satu persatu kata demi katanya, di lautan nikmat, seringkali kita tenggelam. Hm, apa maksudnya? Ah, sudahlah. Aku minta saja temanku itu membacanya dan menceritakan kembali isinya kepadaku. Ya kurasa itu lebih baik, kerena aku sedang malas membaca buku.
Malam itu aku tak bisa tidur. Malam semkain larut tapi tak jua mata ini bisa dipejamkan. Tak jauh dari tempat aku tidur buku itu tergeletak manis seolah melambaikan tangannya dan berkeinginan untuk kujemput. Kuraih buku itu, penglihatanku yang masih tajam satu persatu membuka halaman buku itu. Yang Tak Ditebar, Takkan Pernah Pudar. Hehe, kenapa jadi ada rasa malu di hatiku, perasaan malu itu kian lama kian menjadi perasaan bersalah. Huft, entah mengapa aku jadi bersemangat membacanya.
Malam semakin larut, tapi aku masih asyik dengan buku itu. Jilbab Bukan Topeng, Be Your Self, Neng! Ya, aku tahu. Aku tak menjdi siapa-siapa ketika aku memakai jilbab, tapi sekarang aku merasa menjadi siapa-siapa karena jilbab. Aku jadi merasa bahwa aku bukanlah aku yang dulu, aku jadi tampak berbeda dari yang sebelumnya. Cukuplah bagi kita celupan warna dari Allah. Celupan warna yang melingkup karakter khas kita, membingkainya jadi sesuatu yang indah. Ia menjaganya untuk tetap menjadi kemuliaan dimanapun, kapanpun. Ia menjaganya untuk tetap menjadi kemuliaan dimanapun, kapanpun. Astagfirullah, Allah saja menjaga jilbabku, tapi apa yang kulakukan kini. Allah menjaga jilbabku, sementara aku membawanya ke dalam kemaksiatan niat. Niat yang telah membuat noda di hatiku, niat yang telah menghapuskan semua rencana dari niat sebelumnya. Niatku yang mulia dulu, kini menjadi hisapan jempol tak bermakna. Astagfirullah, betapa aku telah lupa akan cita-citaku dulu. Aku telah lupa dengan amanah-amanahku dulu, lupa dengan jalan dakwah yang dulu pernah aku lewati.
Malam semakin larut. Batinku mulai beradu. Perlahan aku mulai tersadar akan semua yang telah aku lakukan. Aku mulai tersadar akan amanah dakwah yang tidak aku jalankan, aku mulai tersadar akan visi-misiku yang sama sekali tidak terealisasikan. Selama ini aku terlena, selama ini aku terbuay, aku yang sesungguhnya telah dibutakan oleh adaptasi yang benar-benar menyesatkan. Kemana aku yang dulu? Seorang aktivis dakwah, akhwat jilbaber, dimana sekarang jalanku yang dulu aku perjuangkan? Aku telah lupa segalanya, akan misi dan amanah yang telah aku niatkan dulu. Semuanya hilang seolah tanpa bekas, semuanya pergi tanpa pamit, tidak! Misi dan amanah itu bukan pergi tanpa pamit,  tetapi akulah yang telah meninggalkannya. Astagfirullah, Ya Allah hambaMu telah berdosa. Ampuni aku Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim.
Seketika tubuhku lemas, nafasku sesak, aku ingin menangis keras. Aku malu pada Allah. Apa yang telah kuperbuat selama ini, melakukan semuanya tanpa ingat jalan dakwah yang telah aku azzamkan. Betapa aku sangat malu. Kala Allah menegurku begitu lembut, begitu halus yaitu melalui sebuah buku. Kala Allah memberikan kesempatan buatku untuk membaca buku itu. Kala Allah membukakan pintu hatiku melalui karya tulisan seorang hamba yang mampu menyentuh hatiku. Semua itu Allah lakukan untukku, betapa jahatnya diri ini, Ya Allah aku malu dengan semua ini.
Bersyukurku padaMu Ya Allah, Engkau yang begitu mencintai hambaNya, begitu melindunginya, dan selalu dekat dengannya. Maafkan aku Ya Allah, cinta yang aku abaikan, lindungan yang aku acuhkan, dan menjauh yang pernah aku lakukan. Bersujudku Ya Allah, memohon ampunanMu. Di atas sajadah putih, aku mengaku bersalah dan berharap ampunan dariMu. Sajadah Putih kini basah akan air mata, biarlah air mata ini menjadi saksi penyesalanku padaMu. Semoga Engkau ampuni diriku yang tak tahu malu ini, yang saat ini telah mengakui kesalahannya dan sangatlah menginginkann ridho dan ampunanMu.
Malam kian larut. Kunikmat saat berdua denganNya, saat dimana aku bisa mengingatnya begitu kuat dan dekat. Saat hujan dan tangisan air mata berderai tiada habisnya. Malam itu kututup dengan meluruskan niat, merancang kembali semua niat awal yang pernah aku azzamkan untuk tetap istqamah di jalan dakwah. Berjuang di jalanNya, mencari Ridho dan ampunanNya.
Sekarang aku tahu, perasaan yang dulu pernah hinggap di hatiku, perasaan yang dulu pernah kupertanyakan. Ya itu adalah sebuah perasaan rindu, rindu akan namaMu, Subahanallah. Akan kuhadirkan  namaMu setiap waktu untuk mengobati kerinduan itu, Allahu Akbar!

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi untuk Anak Jalanan